Kamis, 08 September 2011
POTENSI TINGGI BERAWAL DARI SIDIK JARI
Oleh : TEGUH SUNARYO (Direktur DMI Primagama)
Hampir sebagian besar kita selalu ingin mengukir prestasi. Betapa senangnya disebut
sebagai orang yang berprestasi, dan betapa bangganya punya anak yang juga berprestasi.
Karena semua orang ingin berprestasi maka yang namanya prestasi haruslah diperjuangkan.
Semakin banyak orang yang ingin berprestasi maka semakin tinggi tingkat kompetisi.
Semakin tinggi tingkat kompetisi maka harus semakin tinggi dan gigih pula upaya
yang harus dilakukan. Sejauh manakah upaya kita selama ini dalam rangka menggapai
suatu prestasi ?
Ada konsep tiga P yaitu Potensi, Proses, Prestasi. Prestasi adalah performa seseorang
atas penguasaan sesuatu hal. Prestasi yang tinggi yang telah tercapai biasanya
disebut sebagai kesuksesan. Sukses adalah hal yang terbaik yang kita miliki. Kebanyakan
dari kita selalu menyamakan pengertian prestasi dengan potensi. Prestasi yang
tinggi bisa lebih mudah dicapai bila berpijak pada potensi yang tinggi pula. Pertanyaannya
adalah bagaimanakah seseorang bisa mengetahui potensi terbaik yang dimilikinya
? Biasanya adalah dilihat dari prestasi tinggi yang telah dimilikinya. Contohnya:
Anak saya pandai matematika, maka pasti ia berpotensi di bidang matematika; Anak
saya senang bermain musik, maka pasti anak saya berpotensi di bidang musik. Dalam
contoh pertama tersebut makna prestasi disamakan dengan makna potensi, sedangkan
pada contoh kedua makna kesenangan disamakan dengan makna potensi. Potensi adalah
suatu kondisi terawal yang dimiliki oleh seseorang. Kondisi terawal yang terbaik
yang dimiliki seseorang adalah bakat. Bakat sebagai potensi inherent sangatlah
baik untuk dijadikan dasar dan pijakan dalam rangka pencapaian prestasi.
Ada cara lain untuk mengetahui potensi seseorang disamping cara-cara identifikasi
melalui prestasi yang telah dimiliki selama ini. Cara tersebut sangat berguna
bagi mereka yang selama ini memang belum mampu menunjukkan prestasi unggulannya.
Sidik jari seseorang diciptakan oleh Tuhan pasti ada maksud dan tujuannya. Mengapa
kepolisian di seluruh dunia memakainya sebagai identifikasi seseorang ? Mengapa
presensi (daftar hadir) perkantoran memakainya ? Mengapa mobil mewah di negara
maju menggunakannya sebagai kunci ? Mengapa laptop sekarang ini menggunakan sebagai
pasword ? Setelah diteliti dan dicermati oleh para ahli, ditemukan bukti bahwa
: Pertama, sidik jari tidak pernah berubah. Kedua , tidak ada yang sama walau ia kembar sekalipun. Ketiga, hanya dimiliki oleh makhluk bernama manusia. Stelah dicermati dari ketiga hal
tersebut maka muncul pertanyaan: Apa yang membedakan manusia dengan yang bukan
manusia selain dari sidik jarinya. Salah satu jawabannya adalah otaknya. Dari
otak muncul kreatifitas, ide-ide cemerlang dan kualitas kecerdasan dan pemikiran
manusia. Puncak peradaban makhluk ada di manusia dan puncak peradaban manusia
ada di dalam otaknya. Pertanyaan berikutnya : Adakah hubungan otak manusia dengan
sidik jarinya ?
Marcello Malpighi (1686) Profesor Anatomi di Universitas Barcelona. Yang pertama kali mengobservasi sejarah sidik jari melalui mikroskop. John
E.Purkinje (1823) Profesor Anatomi di Universitas Breslau. Yang pertama kali mengklasifikasikan pola sidik jari kedalam sembilan sistem
kategori. Dr. Henry Fauld (1880) Rumah sakit Tsukji, Tokyo; artikel tentang Naturalis.
Mengusulkan pengambilan sidik jari dalam bidang kriminal. Sir Francis Galton (1892)
Antropolog; Sidik jari merupakan publikasinya yang menonjol. Jika Harold Cummins
adalah bapak dermatoglifika, Galton adalah penemu. Metode praktis pertama tentang
identifikasi sidik jari, menggunakan tata nama dasar (telapak, putaran, lingkaran).
Secara ilmiah menunjukkan permanensi sidik jari, penelitian tentang anak kembar
yang pertama. Berdasarkan statistiknya, probabilitas memiliki sidik jari yang sama persis adalah 1 : 64 milyar. Harold Cummins (1926) Yang pertama kali menciptakan kata Dermatoglifika; menemukan
bahwa kasus kromosom atau otak abnormal berhubungan dengan sidik jari yang tidak biasa. Pada usia 13 minggu sebagai embrio di dalam rahim, garis kulit mulai tampak dan kemudian lengkap
menjelang 21 sampai 24 minggu. Ini berkaitan dengan perkembangan otak.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada tahap prenatal, hubungan otak dengan sidik jari sangatlah jelas adanya. Sehingga untuk mengetahui
potensi otak seseorang, sidik jari bisa mewakili, tidak perlu melakukan bedah
otak secara fisik. Sedangkan pada tahap postnatal, aspek minat, intensitas dan kualitas pendidikan, proses interaksi dengan lingkungan,
sangatlah mempengaruhi capaian prestasi puncak seseorang. Sukses adalah kombinasi
optimal antara bakat. minat dan cara hidup yang sehat. Sudahkah anda mengenali
potensi anda ?
MISTERI OTAK TENGAH ?
PELATIHAN DAN METODOLOGI
Hampir setiap ibu (juga ayah) menghendaki anaknya menjadi pribadi yang sukses. Sukses tidak harus menunggu di masa yang akan datang, tetapi jika bisa, mengapa sukses tidak bisa diraih dimasa sekarang saja. Sukses di sekolahan, prestasi akademiknya bagus, membanggakan dan tidak memalukan orangtuanya, jika bisa tidak hanya sukses dalam bidang akademik saja, tetapi bisa sukses di segala bidang. Itulah sebabnya mengapa setiap ada program pelatihan yang ditawarkan kepada putra dan putri kita, kemudian para orangtua sangat antusias menyambutnya. Sekarang ini ada program pelatihan aktivasi otak tengah, banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang muncul, dan tidak jarang mampir kepada saya. Rata-rata mereka kagum tetapi kemudian muncul pertanyaan, apa ada orang sukses bisa diraih hanya dengan tempo yang singkat ? Orang sukses dengan orang jenius itu bagus yang mana ya ? Orang jenius dengan orang bahagia itu pilih yang mana ? Apakah menjadi orang sukses, sekaligus jenius dan juga bahagia bisa dilatihkan hanya dengan waktu yang sangat singkat ? Apakah para pelatihnya sendiri sudah membuktikan bahwa dirinya sudah jenius, sudah sukses juga sudah bahagia ? Kalau belum mengapa mereka mengajarkannya kepada orang lain ? Apakah para pelatihnya sudah membuktikan kepada anak-anak usia 5 – 15 tahun disekitar lingkungan terdekatnya, misalnya tetangganya, keponakannya, atau bahkan kepada putra-putrinya sendiri, dst. Semua pertanyaan itu muncul bertubi-tubi. Pada kesempatan ini, saya tidak hendak menjawab pertanyaan tersebut, tetapi saya akan menyoroti arti pentingnya suatu pelatihan dan metodologinya. Pada hakikatnya setiap orang yang ingin maju dan berkembang haruslah belajar dengan baik, tekun, disiplin dan penuh kesungguhan. Sukses harus diperjuangkan, karena penuh persaingan dan setiap orang ingin mendapatkannya. Jenius harus dikembangkan, karena menyangkut potensi yang terus menerus harus diberi stimulasi agar mewujud menjadi suatu prestasi. Bahagia harus diikhtiarkan, karena jiwa selalu merespon (bersinggungan) pada setiap interaksi yang terjadi antar insani. Bukankah setiap kita dalam kesehariannya pasti berkomunitas, berkomunikasi satu diantara yang lain, dan setiap interaksi itu membawa “warna jiwa” yang berbeda-beda ? Ada yang menyenangkan dan ada yang menyedihkan, ada yang sesuai dengan keinginan kita dan ada yang tidak sesuai, ada yang mewakili perasaan kita dan ada yang jauh sama sekali. Itulah sebabnya mengapa sukses, jenius dan bahagia itu tidak cukup hanya dilatihkan (diajarkan) saja, apalagi pelatihan (pengajaran) yang sangat singkat. Pelatihan adalah sebuah upaya untuk memberikan stimulasi secara terencana dan terstruktur kepada seseorang agar memiliki suatu ketrampilan tertentu. Dan efektifitasnya sangat dipengaruhi oleh metode yang digunakan (tentu juga kualitas instrukturnya). Metode yang efektif tentu bila sesuai dengan bahan ajar dan potensi yang dimiliki oleh masing-masing peserta suatu pelatihan, sehingga pengelompokan pada suatu pelatihan itu juga menjadi penting. Maka sangat relevan bila muncul suatu pertanyaan “Apa benar ada suatu pelatihan, yang menggunakan konsep mata ditutup ?” Yang buta saja ingin punya mata yang bisa melihat, kok yang bisa melihat malah matanya harus ditutup ? Apakah sudah diujicobakan pelatihan tersebut pada komunitas orang buta ? Belum lagi ada pertanyaan “Modalitas belajar seseorang itu kan berbeda-beda, ada yang visual, auditorial dan kinestetik ?” Nah, jika seorang anak itu justru modalitas kuatnya adalah visual lantas bagaimana ? Bukankah itu justru memperlemah yang sudah ada ?, dan mengembangkan yang lemah yang belum jelas hasilnya ?
Bagaimana dengan “Menjadikan anak jenius ?”. Siapa yang tidak bangga punya anak jenius. Apa artinya bangga jika yang dibanggakan itu hanya biasa-biasa saja. Kesimpulannya anak jenius adalah anak yang bisa dibanggakan dan punya kebanggaan lebih yang tidak dipunyai oleh anak-anak yang lainnya. Bahwa setiap orang harus bangga dengan dirinya sendiri itu pasti, tetapi kalau yang dibanggakan itu hal yang semua orang punya lantas buat apa ? Jenius adalah kondisi dimana tidak setiap orang mampu dan bisa untuk mewujudkannya. Jenius bukan sekedar bermanfaat, karena setiap orang dengan nalurinya pasti bermanfaat walau hanya sekecil apapun manfaat itu, bukankah “Tidak ada makhluk dimuka bumi ini yang diciptakan Tuhan dengan sia-sia ?” . Maka jenius pasti punya nilai lebih, jangan merendahkan makna “jenius”, karena jika jenius itu maknanya rendah (hanya sekedar bermanfaat), buat apa ikut pelatihan dengan harga yang mahal, dan jika jenius itu “bernilai lebih”, maka tidak bisa hanya dilatihkan dalam waktu yang sekejap. Jenius yang biasa-biasa sajalah yang bisa dilatihkan dalam waktu yang sekejap (tetapi apakah ada orang jenius kok biasa-biasa saja ?).
“OTAK TENGAH” DAN “OTAK KANAN – OTAK KIRI”
Ada tiga bentuk kebenaran hidup, antara lain kebenaran ilahiah, kebenaran alamiah dan kebenaran ilmiah. Dalam zona “kebenaran ilahiah” bahwa “tidak ada hal yang sia-sia”, itu artinya secara ekstrim “semua” adalah penting termasuk otak tengah. Pertanyaannya adalah apakah semua menjadi penting dibahas dalam hubungannya dengan membicarakan suatu kecerdasan (kejeniusan) ? Penting mana antara “nafas” dengan “otak tengah” ? Apa artinya punya otak tengah yang hebat kalau tidak punya nafas ? Tetapi mengapa kita tidak membicarakan nafas ? Karena jawabannya sudah sangat jelas bahwa nafas itu penting tetapi tidak ada korelasi secara langsung dengan adanya suatu kecerdasan (kejeniusan). Pun demikian dengan otak tengah, bahwa potensi-potensi kecerdasan itu letaknya ada pada otak kanan dan otak kiri, bukan pada otak tengah. Dalam zona “kecerdasan alamiah” bahwa masing-masing kita harus hidup yang realistis dan rasional, artinya harus mau hidup dengan potensi yang kita miliki sendiri-sendiri. Potensi itulah yang menjadi acuannya. Orang yang bisa melihat, maka gunakanlah kemampuan melihatnya secara optimal, justru jangan ditumpulkan. Orang yang buta, maka harus mengembangkan kemampuannya yang berbasis “diluar” indera peglihatannya dan disinilah (mungkin) fungsi nyata bagi adanya pelatihan aktivasi otak tengah yang menggunakan cara “mata ditutup”. Dalam zona “kebenaran ilmiah”, ada sutau pertanyaan, apakah sudah ada penelitian yang memadai tentang otak tengah ? Apakah sudah ada disertasi (sekolah S 3) tentang otak tengah ? Apakah sudah ada pengukuhan guru besar (Profesor) yang mengangkat tema tentang otak tengah ? semuanya sampai hari ini belum pernah ada. Coba bandingkan dengan Otak Kanan dan Otak kiri, banyak sudah karya ilmiah yang membahas tentang fungsi otak kanan dan otak kiri.
PENYIKAPAN HIDUP
Pada akhirnya, setiap kita dituntut untuk menyikapi fenomena kehidupan ini secara arif dan bijaksana. Bertanyalah pada ahlinya jika kita kebingungan terhadap suatu hal, jangan hanya diam saja, berikhtiarlah. Datanglah pada orang yang telah membuktikan dan berpengalaman dalam hidupnya. Bandingkanlah dengan fenomena lain yang ada kaitannya dengan masalah kebingungan kita, agar kita bisa membuka jendela pikiran kita, agar tidak menemui kebuntuan berpikir, agar cakrawala berpikir kita semakin luas dan agar tidak mudah dikelabuhi dan terkecoh oleh situasi sesa’at yang sesat. Pada akhirnya semua pilihan ada ditangan kita masing-masing, dan bila ada yang kurang sempurna mohon dima’afkan, semoga bermanfa’at.